iburanhemat.id – da sesuatu yang magis tentang pagi hari di Vietnam. Kabut tipis menggantung di atas sawah yang hijau membentang, sementara aliran sungai tenang mengalir seolah membawa cerita dari hulu ke hilir. Di sanalah perjalanan saya dimulai, dengan ransel di punggung dan hati yang terbuka.
Hiruk-Pikuk dan Kehangatan Hanoi
Hari pertama saya menginjakkan kaki di Hanoi, ibu kota Vietnam, saya langsung tenggelam dalam energi kota yang penuh kehidupan. Kawasan Old Quarter menjadi pusat eksplorasi saya—labirin jalan sempit yang dipenuhi toko, warung, dan suara klakson tak henti-henti. Pho Bo yang saya cicipi dari warung pinggir jalan terasa lebih nikmat karena dimasak dengan penuh cinta. Saya sempat mengunjungi Danau Hoan Kiem dan menyaksikan para lansia melakukan tai chi di tepiannya setiap pagi—tradisi yang memperlihatkan harmoni antara manusia dan alam.
Damainya Kabut di Sapa
Perjalanan saya berlanjut ke utara, ke Sapa, kota kecil di pegunungan yang terkenal dengan lanskap terasering dan budaya etnis minoritasnya. Saya menginap di homestay keluarga Hmong di desa Lao Chai. Kabut pagi menyelimuti lembah, membuat semuanya terasa tenang dan syahdu. Kami menanam padi bersama, berbagi makan malam di atas lantai kayu, dan bercakap-cakap walau terbatas bahasa. Kegiatan sederhana itu membuat saya merasa menjadi bagian dari komunitas.
Menelusuri Sejarah di Hue
Dari sana, saya naik kereta malam ke Hue, kota kuno yang pernah menjadi ibu kota kekaisaran. Saya menjelajahi Kota Kekaisaran (Imperial City), berjalan di lorong-lorong penuh sejarah, dan menyaksikan jejak masa lalu Vietnam yang masih terjaga. Di tepi Sungai Perfume, saya menyewa perahu naga dan menikmati senja yang memantulkan cahaya emas di permukaan air. Tur perahu ini termasuk kunjungan ke Pagoda Thien Mu dan makam Kaisar Minh Mang, dua situs yang menyuguhkan sisi spiritual dan artistik Vietnam.
Keajaiban Lampion dan Cita Rasa di Hoi An
Setelah itu, saya melanjutkan ke Da Nang dan Hoi An. Da Nang menawarkan pantai yang bersih dan jembatan naga yang menyemburkan api saat malam minggu. Namun, pesona Hoi An benar-benar mencuri hati saya. Kota tua dengan lampion warna-warni, jalan berbatu, dan warung kopi tradisional memberi nuansa damai yang sulit dilupakan. Saya mengikuti kelas memasak lokal, belajar membuat goi cuon (spring rolls) dan mencoba menulis kaligrafi Vietnam dengan tinta.
Ho Chi Minh City: Antara Masa Lalu dan Modernitas
Perjalanan ditutup di Ho Chi Minh City. Kota metropolitan yang semarak ini menawarkan perpaduan masa lalu dan masa depan. Dari Terowongan Cu Chi yang membawa saya menyelami perjuangan masa perang, hingga ke sky bar di Distrik 1 yang menyajikan panorama malam kota. Saya juga mengunjungi Museum Sisa Perang, tempat yang menggugah empati dan pemahaman tentang masa lalu kelam Vietnam.
Senyum yang Tak Terlupakan
Namun, bukan hanya pemandangan yang membekas, melainkan orang-orangnya. Saya masih ingat nenek tua di pasar Ben Thanh yang mengajari saya cara menyantap banh xeo, dan sopir ojek yang mengantar saya sambil bercerita tentang masa kecilnya di Delta Mekong. Mereka tidak hanya memberikan arah, tapi juga memberi pelajaran tentang hidup.
Vietnam: Sebuah Rasa yang Menetap
Vietnam bagi saya bukan hanya soal destinasi, tapi soal rasa. Rasa syukur, rasa heran, dan rasa keterhubungan meski berjauhan budaya. Perjalanan ini mengajarkan bahwa dalam kabut yang membatasi pandangan, dalam aliran sungai yang tak pernah berhenti, dan dalam senyum yang sederhana—ada cerita yang layak dikenang dan diceritakan kembali.